Kita memiliki memiliki tiga, dua, dan satu otak. Bingung? Sebenarnya sangat sederhana, semudah 3-2-1, walaupun “otak” adalah protoplasma dengan massa paling kompleks yang pernah dikenal manusia. Sekalipun ahli neurofisiologi Sir John Eccles, pemenang Hadiah Nobel 1963 untuk karyanya tentang synapse –jurang-jurang penghubung antarsel otak- pernah mengatakan bahwa sensitivitas pemicu hubungan sebesar ‘rambut dibelah tujuh’ antarsel otak mengisyaratkan “sebuah mesin yang dirancang untuk dapat dioperasikan oleh ‘hantu’”.
“Tiga dalam Satu”
Ketika manusia tumbuh, kompleksitas otak melalui tahapan-tahapan perkembangan yang kian kompleks sehingga disebut oleh peneliti Dr. Paul Mac Lean, mantan Direktur Laboratorium Otak dan Perilaku pada Institut Kesehatan Mental Amerika Serikat, sebagai “otak tritunggal”.
1. Batang Otak (Otak Reptil)
Batang otak, yang berada pada tengkorak atau rongga kepala bagian dasar, muncul dari tulang punggung. Di sini, Anda akan menemukan elemen otak seperti yang terdapat juga pada bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah seperti kadal, buaya dan burung, karena itu, batang otak disebut otak reptil.
Bagian otak ini mengontrol banyak fungsi dasar termasuk diantaranya pernafasan, detak jantung dan instink-instink seperti respon “lawan atau lari” ketika bahaya mengancam. Otak reptile juga mengontrol instink-instink primitive lainnya, “perasaan territorial” Anda, ketika sesorang terlalu dekat dengan Anda. Ia juga menjelaskan bahwa rasa marah sulit dikontrol karena seringkali ia merupakan respon dari perasaan terancam atau ada seseorang yang berusaha mengambil sesuatu yang Anda anggap milik Anda, yang berarti serangan atas “territorial” Anda.
2. Sistem Limbik (Otak Mamalia)
Bagian tengah otak yang “membungkus” batang otak ibarat kerah baju (limbic berasal dari bahasa Latin limbus, yang berarti batas atau “kerah”). Bagian otak ini sama dengan yang dimiliki oleh mamalia lain.
Komponen-komponen kunci system limbic adalah hipotalamus dan amigdala. System limbic berfungsi untuk mengendalikan emosi. Ia juga membantu memelihara homeostatis, “lingkungan” yang stabil di dalam tubuh. Ia mengendalikan hormone, rasa haus, rasa lapar, seksualitas, pusat-pusat rasa senang, metabolisme, fungsi kekebalan dan suatu bagian penting dari memori jangka panjang.
Hipotalamus dan amigdala juga merupakan pengendali penting perilaku emosional dan perilaku mencapai tujuan. Ini berarti bahwa dorongan emosi akan bekerja lebih baik daripada argument rasional dalam mempengaruhi perilaku manusia. Dalam batas-batas evolusioner, system limbic berkembang sebelum kita “menemukan” logika.
Kemudian diketahui bahwa bagian otak yang mengendalikan emosi ternyata juga mengendalikan kesehatan. Bagian itu juga mengendalikan emosi dan memori. Ketika sesuatu itu melibatkan emosi yang kuat, biasanya ia akan terekam kuat dalam ingatan. Anda boleh jadi ingat betul ciuman pertama atau di mana Anda berada ketika Soeharto lengser dari kursi kepresidenan yang sudah diduduki selama 32 tahun.
System limbic mengontrol rasa senang, permainan peran, kerja sama, dan permainan lainnya merupakan elemen penting dalam proses belajar karena melibatkan emosi positif. Kita ingin supaya setiap pelajar mengungkapkan tentang proses belajarnya, “Saya menyukainya, saya ingin melakukannya lagi.”
Para peneliti mencatat bahwa ketika emosi positif dalam keadaan terbangkitkan, “zat-zat keceriaan” miripopium yang disebut endorphin pembentuk. Pada gilirannya, ini memicu meningkatnya aliran neurotransmitter yang disebut asetikolin. Ini penting karena neurotransmitter merupakan “pelumas” yang memungkinkan terjadinya sambungan antarsel otak. Secara sederhana, otak dapat bekerja dengan sendirinya dan berfungsi lebih efisien. Maka, terdapat landasan ilmiah untuk menggunakan seni, drama, warna, emosi, belajar bermasyarakat, bahkan permainan, sebagai alat dan sarana pendidikan.
Tetapi, bagaimana halnya dengan emosi negative? Peneliti Mortimer Mishkin dan Tim Appeneller, yang menulis dalam Scientific American, menyarankan bahwa system limbic, dan khususnya thalamus, bekerja sejenis ‘saklar’ antara “pancaindra” kita dan “otak” kita, yang menganalisis setiap informasi yang masuk untuk kepentingan emosi kita. Jika Anda merasa stress atau takut, informasi itu mungkin tidak sepenuhnya disampaikan ke neokorteks (bagian otak yang berpikir). Tetapi, seperti yang dikatakan oleh penulis dan peneliti Lesley Hart, “Otak manusia bergeser turun ke wilayah-wilayah yang lebih primitive. Kita kerapkali lebih banyak kembali kepada perilaku instinktif ketimbang pertimbangan rasional.”
Secara evolusi, hal itu dapat dimengerti. Jika seekor binatang galak menyerang, Anda tentu tidak ingin mengatasinya dengan berfilsafat. Dalam dunia modern ini, stress dan ancaman mungkin hanya berupa perasaan takut gagal. Dengan demikian, stress menghambat proses belajar. Pikiranku tiba-tiba kosong adalah ungkapan yang lazim dilontarkan para pelajar saat ujian.
Dalam Cara Belajar Cepat, kita sengaja menggunakan latihan relaksasi sebelum memulai suatu sesi belajar dan mencoba mengurangi stress dan meningkatkan energi. Louis Machado de Andrade, peneliti pendidikan kelas dunia dari Universitas Rio de Janeiro, pada awal 1984 menyatakan bahwa system limbic secara efektif mengendalikan mekanisme bagi penjagaan diri kita –kekuatan paling dahsyat di dalam diri kita. Ketika Anda melibatkan system limbic dalam proses belajar atau mengajar, maksudnya, dengan sengaja melibatkan emosi, maka Anda akan menggunakan kekuatan besar yang membuat proses belajar jauh lebih efektif.
Dalam bukunya the Brain of the brain, dia mencirikan system limbic sebagai pusat pengendali keseluruhan otak. Amksudnya, bentuk utama kecerdasan (inteijensi). Dia lebih dahulu daripada seluruh perdebatan mengenai kecerdasan emosional. Para pendidik dihimbau untuk melibatkan emosi ketika mengajar di dalam kelas sehingga setiap siswa menggunakan lebih banyak potensi yang mereka miliki. Bersambung [Accelerated Learning, hal 48-51]
0 komentar:
Posting Komentar